Selasa, 29 November 2011

kuliah dan praktikum Ekowisata kelas Roxy


Bangka Belitung

Letak Geografis
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terletak pada 104°50’ sampai 109°30’ Bujur Timur dan 0°50’ sampai 4°10’ Lintang Selatan, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
• Di sebelah Barat dengan Selat Bangka
• Di sebelah Timur dengan Selat Karimata
• Di sebelah Utara dengan Laut Natuna
• Di sebelah Selatan dengan Laut Jawa
Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terbagi menjadi wilayah daratan dan wilayah laut dengan total luas wilayah mencapai 81.725,14 km2. Luas daratan lebih kurang 16.424,14 km2 atau 20,10 persen dari total wilayah dan luas laut kurang lebih 65.301 km2 atau 79,90 persen dari total wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Sekilas Sejarah
Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdiri dari dua pulau besar yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung serta pulau-pulau kecil. Sebelum Kapitulasi Tutang Pulau Bangka dan Pulau Belitung merupakan daerah taklukan dari Kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Mataram. Setelah itu, Bangka Belitung menjadi daerah jajahan Inggris dan kemudian dilaksanakan serah terima kepada pemerintah Belanda yang diadakan di Muntok pada tanggal 10 Desember 1816. Pada masa penjajahan Belanda, terjadilah perlawanan yang tiada henti-hentinya yang dilakukan oleh Depati Barin kemudian dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Depati Amir dan berakhir dengan pengasingan ke Kupang, Nusa Tenggara Timur oleh Pemerintahan Belanda. Selama masa penjajahan tersebut banyak sekali kekayaan yang berada di pulau ini diambil oleh penjajah.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ditetapkan sebagai provinsi ke-31 oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang sebelumnya merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan. Ibukota provinsi ini adalah Pangkalpinang.
Hal menarik lainnya adalah cerita tentang latar belakang sejarah kemerdekaan. Para pendiri bangsa Indonesia dahulu ternyata sempat dibuang ke Bangka. Bung Karno, Bung Hatta dan kawan-kawan sempat menjalani hidup sebagai orang buangan di kota Muntok. Jejak perjuangan mereka masih terekam kuat di kalangan masyarakat dengan kehadiran dua bangunan bersejarah yaitu Wisma Ranggam dan Pesangrahan Menumbing. Di dua bangunan ini pengunjung dapat melihat peninggalan seperti kamar bekas Bung Karno serta mobil yang sering digunakannya ketika berada di Bangka.
Untuk melihat perkembangan penambangan timah terdapat museum Timah di Pangkalpinang dan Museum Geologi di Belitung yang juga menghadirkan koleksi aneka senjata dan budaya Belitung.

Iklim & Topografi
Kepulauan Bangka Belitung memiliki iklim tropis yang dipengaruhi angin musim yang mengalami bulan basah selama tujuh bulan sepanjang tahun dan bulan kering selama lima bulan terus menerus. Keadaan alam Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagian besar merupakan dataran rendah, lembah dan sebagian kecil pegunungan dan perbukitan. Ketinggian dataran rendah rata-rata sekitar 50 meter di atas permukaan laut dan ketinggian daerah pegunungan antara lain untuk gunung Maras mencapai 699 meter, gunung Tajam Kaki ketinggiannya kurang lebih 500 meter di atas permukaan laut. Sedangkan untuk daerah perbukitan seperti bukit Menumbing ketinggiannya mencapai kurang lebih 445 meter dan Bukit Mangkol dengan ketinggian sekitar 395 meter di atas permukaan laut.

Flora Fauna
Di Kepulauan Bangka Belitung tumbuh bermacam-macam jenis kayu berkualitas yang diperdagangkan ke luar daerah seperti: Kayu Meranti, Ramin, Mambalong, Mandaru, Bulin dan Kerengas. Tanaman hutan lainnya adalah: Kapuk, Jelutung, Pulai, Gelam, Meranti rawa, Mentagor, Mahang, Bakau dan lain-lain. Hasil hutan lainnya merupakan hasil ikutan terutama madu alam dan rotan. Madu Kepulauan Bangka Belitung terkenal dengan madu pahit.
Fauna di Kepulauan Bangka Belitung lebih memiliki kesamaan dengan fauna di Kepulauan Riau dan semenanjung Malaysia daripada dengan daerah Sumatera. Beberapa jenis hewan yang dapat ditemui di Kepulauan Bangka Belitung antara lain: Rusa, Beruk, Monyet, Lutung, Babi Hutan, Tringgiling, Kancil, Musang , Elang, Ayam Hutan, Pelanduk, berjenis-jenis Ular dan Biawak.

kuliah 8 pariwisata alam budaya: Pengelolaan Wisata Budaya kelas ROXY

Pengelolaan Wisata budaya


Pariwisata Budaya Berkelanjutan (Sustainable Cultural Tourism)(kutipan dari Ratna Suranti)
Telah disadari bahwa praktik-praktik pariwisata, yang melihat kebudayaan (juga alam), terutama sebagai sumber komoditi, ternyata membawa dampak yang tidak selalu positif. Dampak positif yang biasanya langsung dan segera dapat dirasakan adalah dalam segi keuntungan ekonomi, tetapi sesungguhnya keuntungan tersebut hanya merupakan keuntungan jangka pendek. Yang dirasakan kemudian adalah dampak buruknya, yaitu terhadap ekspresi dan eksistensi budaya yang dijadikan sumber komoditi itu.
Pariwisata yang menekankan pendekatan ekonomi cenderung memberikan peranan utama pada pemerintah atau pemilik modal, dan tujuannya juga ditentukan dan terutama untuk kepentingan mereka. Peranan masyarakat sangat rendah sehingga mereka cenderung tampak patuh dan tidak punya inisiatif karena lebih ditempatkan sebagai obyek daripada sebagai subyek. Sebagai akibatnya, adat-istiadat, nilai-nilai, dan norma-norma menjadi semakin terkikis. Ritual-ritual suci menjadi semakin dangkal dan pertunjukan-pertunjukan seni semakin tidak berjiwa. Masyarakat menjadi apatis dan kesejahteraan mereka pun tidak mengalami perbaikan.
Sebenarnya, hal-hal demikian tidak perlu terjadi khususnya di Indonesia. Bersama dengan 179 negara lainnya, Indonesia telah menandatangani kesepakatan Agenda 21 Global dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992. Agenda 21 merupakan program aksi untuk mengantisipasi perkembangan abad 21, yaitu dengan cara menuangkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan, sebagai upaya untuk menggeser konsep pembangunan yang lebih banyak berorientasi pada pembangunan di bidang ekonomi. Lebih lanjut, diharapkan agar semua pihak baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat harus lebih memikirkan pembangunan berkelanjutan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, melakukan pembangunan yang seimbang antara pembangunan ekonomi dan kondisi sosial dengan memperhatikan faktor lingkungan. Lebih khusus lagi, Committee on Monuments and Sites (ICOMOS) telah menerbitkan The International Cultural Tourism Charter di Meksiko pada tahun 1999, yang berisi seruan dan himbauan untuk menyelamatkan pusaka budaya yang berbentuk bangunan atau situs. Charter yang sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Deklarasi Pariwisata Alam dan Budaya Indonesia. Dilakukannya penerjemahan tersebut antara lain dimaksudkan agar pemanfaatan pusaka budaya untuk pariwisata dapat dibatasi dan diberi rambu-rambu agar upaya untuk menjaga kelestarian pusaka budaya yang ada di seluruh dunia dapat juga dilaksanakan di Indonesia.
Tumbuhnya model pariwisata budaya yang berkesinambungan atau sustainable cultural-tourism (SCT) tampak sebagai reaksi terhadap dampak negatif dari pariwisata yang terlalu menekankan tujuan ekonomi. Gagasan tentang SCT ini pada dasarnya bertujuan agar eksistensi kebudayaan yang ada selalu diupayakan untuk tetap lestari. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa masyarakat pemilik adalah pihak yang seharusnya lebih berperan dalam pelestarian tersebut. Dengan model yang baru ini, peranan utama dikembalikan kepada masyarakat lokal dan lembaga-lembaga non-pemerintah yang memiliki perhatian terhadap kelestarian warisan budaya. Di luar mereka ini, pemerintah daerah juga ikut ambil bagian, khususnya menyangkut upaya pemanfaatan aset-aset pariwisata untuk meninkatkan pendapatan asli daerah.
Dalam situasi transisi ini, muncul persoalan-persoalan yang berkaitan dengan klaim atas sumber-sumber pariwisata yang mempunyai potensi menguntungkan. Di daerah-daerah tertentu yang memiliki pengalaman dalam pengelolaan obyek wisata budaya yang melibatkan peranan masyarakat lokal (di Bali misalnya), persoalan pemanfaatan obyek budaya untuk tujuan wisata dapat dikelola dengan cukup baik. Tetapi, di beberapa daerah lain (di Jawa misalnya), pemanfaatan obyek budaya untuk tujuan wisata tampak menjadi arena konflik kepentingan. Usaha untuk melakukan rekonsiliasi telah dilakukan tetapi belum sepenuhnya memuaskan. Hal ini dapat dipahami sebagai akibat dari adanya perubahan sikap yang datang secara tiba-tiba, seperti adanya klaim dari masyarakat setempat terhadap sejumlah warisan budaya yang semula dikuasai sepenuhnya oleh negara, kemudian dianggap sebagai “warisan” milik mereka juga. Pihak pemerintah sendiri tampak belum siap untuk mengantisipasi tuntutan yang datang secara tiba-tiba dan tidak diduga sebelumnya.
Kondisi demikian juga tidak semestinya terjadi, karena pembangunan kepariwisataan Indonesia sudah mengarah pada pembangunan berbasis masyarakat. Pembangunan pariwisata harus mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dengan memberikan kesempatan agar masyarakat mampu berperan serta secara aktif untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Usaha pariwisata harus mengedepankan kepentingan masyarakat sehingga masyarakat dapat mengambil bagian dalam pengelolaan sumber daya dan obyek wisata atau DTW. Kepariwisataan yang berbasis masyarakat hendaknya terkait dengan usaha bisnis lokal, pembangunan masyarakat, serta pelestarian warisan alam dan budaya. Hal tersebut sudah sejalan dengan kode etik pariwisata dunia yang pada dasarnya memiliki keterkaitan dengan pengaturan pelestarian lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat setempat, perencanaan yang berorientasi pada perlindungan sumber daya alam dan budaya, hak asasi manusia, hak dan kewajiban para pelaku pariwisata, pelestarian warisan budaya, dan globalisasi.
Memang belum semua masalah dapat diatasi, tetapi arah pariwisata Indonesia sudah jelas. Arah itu disebutkan dalam pernyataan misi tentang pengembangan kebudayaan dan pariwisata yang antara lain dirumuskan sebagai berikut:
1.   Pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pengembangan kebudayaan dan pariwisata nasional.
2.   Perlindungan kebudayaan sebagai upaya melestarikan warisan budaya bangsa.
3. Pengembangan produk pariwisata yang berwawasan lingkungan, bertumpu pada kebudayaan, peninggalan budaya dan pesona alam lokal yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global. 

Pengelolaan SCT di Indonesia tampaknya diarahkan pada dua sasaran utama, yaitu: (1) menjaga keanekaragaman budaya melalui usaha pelestarian sumber daya budaya, dan (2) mengembangkan sumber daya budaya tertentu untuk dimanfaatkan bagi tujuan wisata. Dua sasaran tersebut mengesankan adanya kontradiksi antara satu dengan lainnya karena di satu pihak diarahkan untuk menjaga kelestarian sementara di pihak lain diarahkan untuk tujuan eksploitasi. Jika menilik pada kenyataan, usaha-usaha yang hanya menekankan pada satu sasaran saja sering kali menjadi tidak realistis. Selain itu, kekayaan budaya hanya akan memberi arti penting bila dapat dirasakan kemanfaatannya bagi masyarakat banyak. Kelestarian warisan budaya memang merupakan aspirasi ideal yang harus diakomodasikan, tetapi perubahan yang diakibatkan oleh faktor alam dan tuntutan zaman, juga merupakan sesuatu yang tidak dapat dicegah sepenuhnya. Untuk itu, diperlukan adanya keseimbangan antar kedua sasaran tersebut. Kelestarian adalah sesuatu yang relatif. Apa yang menjadi substansi dari model pariwisata budaya berkelanjutan bukanlah berarti bahwa usaha pariwisata harus menjamin kelestarian budaya sepanjang masa, tetapi upaya tersebut hendaknya diarahkan untuk menjamin kelestarian yang lebih lama. Dengan memberi peran utama kepada masyarakat setempat, sasaran SCT diharapkan dapat tercapai. Jika model SCT ini dapat diterapkan dengan baik di Indonesia, ada harapan bahwa pariwisata Indonesia dapat mempertahankan keunggulannya untuk bersaing dengan pariwisata negeri lain. Keunggulan  itu terdapat pada keanekaragaman yang tidak hanya dimiliki dari segi kebudayaan, tetapi juga keanekaragaman sumber daya alam, hayati, dan kombinasi dari semua itu.