Kamis, 06 November 2014

Kuliah Pariwisata Berkelanjutan - Kuliah 7-8 kelas Sudirman



Mengapa Perencanaan Pariwisata perlu dilakukan di Lingkup Destinasi
Posted on Senin, 24 Februari 2014, 07.55 by Taslim, http://pariwisata.rejanglebongkab.go.id/mengapa-perencanaan-pariwisata-perlu-dilakukan-di-lingkup-destinasi/

Perencanaan pariwisata perlu dilakukan karena adanya banyak perubahan dalam industri pariwisata saat ini. Pariwisata mencakup banyak hal yang melibatkan banyak pihak, maka dibutuhkan strategi tertentu dalam perencanaan kegiatan pariwisata sehingga dapat berlangsung dengan baik.

Merencanakan sesuatu dalam hal ini perencanaan pariwisata bila dilakukan dengan baik tentu akan memberikan manfaat dan dapat memperkecil semua efek yang tidak menguntungkan. Karena itu pentingnya perencanaan dalam pengembangan pariwisata sebagai suatu industri agar perkembangan industri pariwisata sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dan berhasil mencapai sasaran yang dikehendaki, baik itu ditinjau dari segi ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan.

Pengembangan pariwisata yang tidak direncanakan, akan dapat menimbulkan masalah-masalah sosial dan budaya, terutama di daerah atau tempat di mana terdapat perbedaan tingkat sosialnya antara pendatang dan penduduk setempat. Sebagai akibat tingkah laku penduduk yang suka meniru seperti apa yang dilakukan wisatawan asing tanpa mengetahui latar belakang kebudayaan wisatawan asing yang ditirunya. Suatu perencanaan dan pertumbuhan pembangunan yang tidak direncanakan akan mengakibatkan degradasi atau penurunan daya tarik suatu atraksi wisata, bahkan dapat menjurus kepada kerusakan lingkungan. 

Merencanakan sesuatu bila dilakukan dengan baik tentu akan memberikan manfaat dan dapat pula memperkecil semua efek yang tidak menguntungkan. Karena itu pentingnya perencanaan dalam pengembangan pariwisata sebagai suatu industri agar perkembangan industri pariwisata sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dan berhasil mencapai sasaran yang dikehendaki, baik itu ditinjau dari segi ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup.

Kita semua menyadari bahwa pengembangan pariwisata sebagai suatu industri diperlukan biaya yang besar, seperti; perbaikan jembatan dan jalan menuju obyek wisata, pengembangan hotel dengan segala fasilitasnya, angkutan wisata (darat, laut, dan udara) yang harus dibangun, penyediaan air bersih yang harus diciptakan dengan baik, sarana komunikasi yang teratur yang perlu diadakan, bahkan pendidikan karyawan yang profesional dalam bidangnya. Semuanya itu memerlukan biaya yang tidak sedikit dan agar uang tidak dihamburkan sia-sia, maka suatu perencanaan yang matang mutlak diperlukan.

Pertumbuhan kepariwisataan yang tidak terkendali sebagai akibat dari perencanaan yang tidak baik, pasti akan menimbulkan dampak yang tidak baik dan tentunya akan tidak menguntungkan semua pihak. Misalnya saja bangunan hotel yang menjulang tinggi, poster iklan yang merusak pemandangan dan lingkungan, pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya, pengotoran pantai yang tidak terkendali sebagai akibat banyaknya wisatawan yang berkunjung, semuanya dapat saja terjadi sebagai akibat dari perencanaan yang tidak baik.

Dengan kata lain, pengembangan pariwisata yang tidak direncanakan akan menimbulkan masalah-masalah sosial dan budaya, terutama di daerah atau tempat di mana terdapat perbedaan tingkat social antara pendatang dan penduduk setempat. Hal itu terjadi akibat tingkah laku penduduk yang suka meniru seperti apa yang dilakukan wisatawan asing tanpa mengetahui latar belakang kebudayaan wisatawan asing yang ditirunya.

Hal yang serupa ini jika terjadi akan dapat menimbulkan masalah-masalah sosial seperti hilangnya kepribadian, mundurnya kualitas kesenian tradisional, menurunnya kualitas barang-barang kerajinan, pencemaran pada candi-candi dan monumen yang menjadi obyek wisata atau menurunnya moral kaum muda dengan adanya kebebasan melakukan sesuatu.Oleh karena itu, pengembangan pariwisata sebagai suatu industry perlu dipertimbangkan dalam segala aspek (tanpa terkecuali) karena pariwisata sebagai suatu industri tidak dapat berdiri sendiri, pariwisata berkaitan erat dengan sektor-sektor lainnya, seperti sektor ekonomi, sosial, dan budaya yang hidup dalam masyarakat. Apabila pengembangan pariwisata tidak terarah dan tidak direncanakan dengan matang, maka bukan manfaat yang akan diperoleh, melainkan perbenturan sosial, kebudayaan, kepentingan yang akan menyebabkan kualitas pelayanan kepada wisatawan pun menjadi rendah dan selanjutnya akan mematikan usaha-usaha yang telah lama dibina dengan susah payah.

Hal yang semacam ini tentu tidak diinginkan untuk terjadi, malah sebaliknya kita harus menghindari hal demikian sedini mungkin. Caranya dengan membuat perencanaan yang terpadu dan sejalan dengan perencanaan perekonomian negara secara keseluruhan. Dengan perkataan lain, pengembangan pariwisata harus sejalan dengan pembangunan nasional seperti yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

Perencanaan pariwisata hendaknya harus sejalan dengan sasaran yang hendak dicapai. Keputusan pertama yang harus diambil oleh suatu daerah ialah; apakah sudah ada kesepakatan di antara pemuka/pejabat setempat bahwa daerah itu akan dikembangkan menjadi suatu obyek wisata atau suatu Daerah Tujuan Wisata (DTW), dan apakah manfaat serta keuntungan langsung bagi penduduk sekitar DTW sehingga pengembangan pariwisata selanjutnya akan mendapat dukungan dari masyarakat banyak.

Aspek-aspek yang perlu diketahui dalam perencanaan pariwisata adalah:

    Wisatawan (tourist); sebagai seorang perencana, kita harus tahu terlebih dahulu (melalui penelitian atau observasi) mengenai karakteristik wisatawan yang diharapkan akan datang (target pasar yang dikehendaki)n misalnya dari daerah atau negara asal wisatawan, usia muda atau tua, berpenghasilan besar atau kecil, pola perjalanan, apa motivasi melakukan pariwisata, lama tinggal atau waktu kunjungan dilakukan.
    Pengangkutan (transportations); seorang perencana harus melakukan penelitian lebih dahulu, bagaimana fasilitas transportasi yang tersedia atau dapat digunakan, baik untuk membawa wisatawan dari daerah atau negara asalnya maupun transportasi menuju ke DTW yang dikehendaki. Selain itu, bagaimana pula transportasi lokal jika melakukan perjalanan wisata di DTW yang sedang dikunjungi tersebut.
    Atraksi/obyek wisata (atractions); bagaimana obyek wisata/atraksi akan dijual, apakah memenuhi tiga syarat “seperti apa yang dilihat” (something to see), “apa yang dapat dilakukan” (something to do), “apa yang dapat dibeli” (something to buy) di DTW yang dikunjungi.
    Fasilitas pelayanan (services fasilities); fasilitas apa saja yang tersedia di DTW tersebut, bagaimana akomodasi perhotelan yang ada, restoran, pelayanan umum seperti bank/money changers, kantor pos, telepon/teleks/faksimili di DTW yang akan dikunjungi wisatawan.
    Informasi dan promosi (informations); calon wisatawan perlu memperoleh informasi tentang DTW yang akan dikunjunginya. Untuk itu perlu dipikirkan cara-cara publikasi atau promosi yang akan dilakukan. Kapan iklan harus dipasang, kemana leaflets/brochures harus disebarkan, sehingga calon wisatawan mengetahui tiap paket wisata yang akan kita jual sehingga calon wisatawan lebih cepat mengambil keputusan, berangkat atau tidak ke DTW yang ditawarkan tersebut.

Pada dasarnya perencanaan dirmaksud untuk memberikan batasan tentang tujuan yang hendak dicapai dan menentukan cara-cara mencapai tujuan yang dimaksudkan tersebut. Jadi perencanaan merupakan predeterminasi dari tujuan-tujuan yang bersifat produktif secara sistematis dengan menggunakan alat-alat, metode dan prosedur yang perlu untuk mencapai tujuan yang dianggap paling ekonomis. Bila kita rinci pengertian tersebut di atas, maka dalam batasan perencanaan terdapat unsur:

    Suatu pandangan jauh ke depan.
    Merumuskan secara konkret apa yang hendak dicapai dengan menggunakan alat-alat secara efektif dan ekonomis.
    Menggunakan koordinasi dalam pelaksanaannya.

Menurut G.R. Terry dalam bukunya Principles of Management yang disadur oleh Dr. Winardi keuntungan-keuntungan dari sebuah perencanaan adalah:

    Planning menyebabkan aktivitas dilakukan secara teratur dan dengan tujuan tertentu.
    Planning meminimalisir pekerjaan yang tidak produktif.
    Planning membantu penggunaan suatu alat pengukur mengenai hasil yang akan dicapai.
    Ada pendapat yang menyatakan bahwa planning menyebabkan penggunaan fasilitas-fasilitas yang ada menjadi lebih baik lagi.
    Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa planning menyebabkan fasilitas-fasilitas yang ada dipergunakan secara lengkap.
    Planning juga memberikan suatu keadaan untuk pengawasan (waktu-waktu tertentu serta menyelesaikan setiap aktivitas-aktivitas).

Pariwisata masa kini tidak hanya terkait dalam batas-batas wilayah dalam skala tertentu. Pariwisata pada masa kini menjadi sangat khas karena melibatkan paduan budaya dan bentang alam sehingga melibatkan seluruh pihak untuk terkait didalamnya. Diantaranya ada pemerintah, swasta dan masyarakat lokal. Dalam pelaksanaannya ketiga unsur ini saling  melengkapi di mana pemerintah sebagai penyelenggara dan pihak swasta sebagai media perantara untuk menyampaikan produk wisata. Sedangkan masyarakat lokal adalah unsur penting yang terlibat dalam kepemerintahan atau pihak swasta pun tidak dapat berdiri sendiri sehingga dalam penyelenggaraan pariwisata pemerintah dan swasta secara bersama-sama dapat mendayagunakan komunitas dan masyarakat lokal untuk menjadi pelaksana kegiatan pariwisata. Berikut ini gambar mengenai kompleksitas pariwisata dan sistem pariwisata.

Lima hal yang harus diperhatikan dalam pariwisata berkelanjutan menurut konsep Muller (1997) yaitu:

    pertumbuhan ekonomi yang sehat,
    kesejahteraan masyarakat lokal,
    tidak merubah struktur alam dan melindungi sumber daya alam,
    kebudayaan masyarakat yang tumbuh secara sehat,
    memaksimalkan kepuasan wisatawan dengan memberikan pelayanan yang baik karena wisatawan pada umumnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan.

Teori siklus hidup destinasi wisata yang dikemukakan oleh Butler pada tahun 1980 yang dikenal dengan Tourism Area Life Cycle (TALC). Siklus hidup destinasi wisata yang dikemukan oleh Butler (1980) terbagi menjadi tujuh tahap, yaitu:

    Tahap exploration yang berkaitan dengan discovery yaitu suatu tempat sebagai potensi wisata baru ditemukan baik oleh wisatawan, pelaku pariwisata, maupun pemerintah, biasanya jumlah pengunjung sedikit, wisatawan tertarik pada daerah yang belum tercemar dan sepi, lokasinya sulit dicapai namun diminati oleh sejumlah kecil wisatawan yang justru menjadi minat karena belum ramai dikunjungi.
    Tahap involvement disebut dengan tahap keterlibatan. Pada fase ini, peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mengakibatkan sebagian masyarakat lokal mulai menyediakan berbagai fasilitas yang memang khusus diperuntukkan bagi wisatawan. Kontak antara wisatawan dengan masyarakat lokal masih tinggi dan masyarakat mulai mengubah pola-pola sosial yang ada untuk merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Disinilah mulai suatu daerah menjadi suatu destinasi wisata yang ditandai oleh mulai adanya promosi.
    Tahap development disebut dengan tahap pembangunan. Pada fase ini, investasi dari luar mulai masuk serta mulai munculnya pasar wisata secara sistematis. Daerah semakin terbuka secara fisik, advertensi (promosi) semakin intensif, fasilitas lokal sudah tersisih atau digantikan oleh fasilitas yang benar-benar touristic dengan standar internasional, dan atraksi buatan sudah mulai dikembangkan untuk menambahkan atraksi yang asli alami. Berbagai barang dan jasa impor menjadi keharusan termasuk tenaga kerja asing untuk mendukung perkembangan pariwisata yang pesat.
    Tahap consolidation (konsolidasi). Pada fase ini, peristiwa sudah dominan dalam struktur ekonomi daerah dan dominasi ekonomi ini dipegang oleh jaringan internasional atau major chains and franchise. Jumlah kunjungan wisatawan masih naik tetapi pada tingkat yang lebih rendah. Pemasaran semakin gencar dan diperluas untuk mengisi berbagai fasilitas yang sudah dibangun. Fasilitas lama sudah mulai ditinggalkan.
    Tahap stagnation (stagnasi). Pada fase ini, kapasitas berbagai faktor sudah terlampaui di atas daya dukung sehingga menimbulkan masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kalangan industri sudah mulai bekerja berat untuk memenuhi kapasitas dari fasilitas yang dimiliki khususnya dengan mengharapkan repeater guests atau wisata konvensi/bisnis. Selain itu, atraksi buatan sudah mendominasi atraksi asli alami (baik budaya maupun alam), citra awal sudah mulai meluntur, dan destinasi sudah tidak lagi populer.
    Tahap decline (penurunan). Pada fase ini, wisatawan sudah beralih ke destinasi wisata baru dan yang tinggal hanya ‘sia-sia’, khususnya wisatawan yang hanya berakhir pekan. Banyak fasilitas pariwisata sudah berlatih atau dialihkan fungsinya untuk kegiatan non-pariwisata, sehingga destinasi semakin tidak menarik bagi wisatawan. Partisipasi lokal mungkin meningkat lagi terkait dengan harga yang merosot turun dengan melemahnya pasar. Destinasi dapat berkembang menjadi destinasi kelas rendah (a tourism slum) atau sama sekali secara total kehilangan diri sebagai destinasi wisata.
    Tahap rejuvenation (peremajaan). Pada fase ini, perubahan secara dramatis dapat terjadi (sebagai hasil dari berbagai usaha dari berbagai pihak) menuju perbaikan atau peremajaan. Peremajaan ini dapat terjadi karena adanya inovasi dalam pengembangan produk baru dan menggali atau memanfaatkan sumber daya alam dan budaya yang sebelumnya belum dimanfaatkan.

Konsekuensi dari adanya perbedaan karakteristik dalam pembangunan atau perkembangan pariwisata menuntut seorang perencana pariwisata untuk selalu mencermati bentuk keterkaitan antara komponen kepariwisataan dengan karakteristik komponen lingkungan untuk menentukan lingkup pekerjaan.

Perencanaan biasanya dapat membantu meminimalkan konflik yang terjadi berkaitan dengan penggunaan tanah atau sumber daya lainnya (Glaria and Cenal, 1990). Diperlukannya sebuah perencanaan dapat juga dikaitkan dengan perkembangan wilayah dan/atau perkembangan kota. Kebutuhan ini terutama dirasakan setelah perkembangan fisik industri atau usaha kepariwisataan, khususnya hotel yang teraglomerasi di lokasi-lokasi tertentu, menyebabkan permasalahan pada skala yang lebih luas.

Dalam perencanaan termasuk perencanaan kepariwisataan perlu dipahami perihal kebutuhan di satu sisi serta pemahaman cara pemenuhan kebutuhan tersebut di sisi lain. Memahami bahwa pariwisata mencakup aspek yang amat luas dan rencana tata ruang wilayah sebagai suatu konsep penataan ruang kegiatan, maka kebutuhan akan rencana pariwisata yang komprehensif dirasakan sebagai suatu keharusan. Rencana pariwisata bukan sekedar menyangkut kebutuhan akan akomodasi, mendandani obyek wisata atau membangun obyek rekaan, melainkan harus menjadi satu kesatuan yang terpadu dengan rencana umum tata ruang wilayah; dan sebaliknya, rencana tata ruang wilayah tidak dapat mengabaikan unsur ‘suka’ yang paling tidak adalah kebutuhan akan rekreasi dan lebih luas adalah kebutuhan akan pariwisata.

Pengaruh dari kurangnya perencanaan dalam sebuah organisasi telah didokumentasikan dalam berbagai literatur, pengaruhnya meliputi hal-hal sebagai berikut:

    Pengaruh fisik; kerusakan atau perubahan tetap sekitar fisik, kerusakan atau perubahan tetap dalam sejarah/kebudayaan, kekumuhan dan keterbatasan, polusi, serta masalah-masalah lalu lintas.
    Pengaruh manusia; kurangnya penerimaan dalam pelayanan dan atraksi-atraksi lokal yang mengecewakan para turis, kidaksukaan para turis pada bagian tempat mereka tinggal, hilangnya identitas budaya, kurangnya pendidikan para pekerja kepariwisataan dalam hal keterampilan dan penerimaan tamu, serta kurang sadar akan keuntungan-keuntungan pariwisata untuk daerah tujuan wisata.
    Pengaruh organisasi; lemahnya pendekatan pemasaran dan pengembangan pariwisata, kurangnya kerjasama diantara operator, tidak selarasnya gambaran dari ketertarikan pariwisata, kurangnya dorongan dari pejabat daerah, serta tidak adanya tindakan atas isu-isu penting, masalah-masalah dan kesempatan dari ketertarikan masyarakat pada umumnya.
    Pengaruh lain; tidak selarasnya isyarat-isyarat, kurang cukupnya atraksi-atraksi dan even-even wisata, musim yang tinggi dan pendeknya jangka tinggal, miskinnya atau menekan kualitas dari fasilitas dan pelayanan, serta miskinnya atau tidak selarasnya informasi perjalanan.

 TUGAS ANDA: 

  1. Buatlah Kelompok untuk membuat presentasi terkait dengan Pariwisata Berkelanjutan pada sebuah destinasi wisata
  2. Kaitkan dengan prinsip pengelolaan pariwisata berkelanjutan 
  3. Isi presentasi:
 a. Latar belakang Penulisan
b. Profil destinasi
c. Permasalahan terkait dengan pengelolaan pariwisata berkelanjutan
c. Prinsip pariwisata berkelanjutan yang sudah diterapkan
d. Analisis anda terkait penerapan tersebut
e. Kesimpulan dan usulan anda

Usahakan power point yang ada tidak lebih dari 15 slide.