Fenomena
Fenomena
komunikasi antara komunitas berbeda budaya semakin rumit, sejalan
dengan semakin beragamnya konsep diri, minat, kepentingan, gaya hidup,
kelompok rujukan, sistem kepercayaan dan nilai yang berkembang. Walaupun
memiliki budaya yang sama, tapi dalam suatu komunitas yang terdiri dari
beberapa ras, pasti ada perbedaan atau secara tidak sadar, perbedaan
itu dimunculkan dan akhirnya menjadi suatu prasangka. Dari
prasangka-prasangka inilah akhirnya selalu terjadi terjemahan informasi
yang salah.
Banyak fenomena komunikasi yang mungkin atau bahkan
sering kita alami, baik secara sadar atau tidak sadar. Ketika kita
berada di suatu budaya yang berbeda, ini akan sangat terasa. Saya akan
menceritakan beberapa fenomena komunikasi yang pernah saya alami,
khususnya dari segi bahasa yang akhirnya menimbulkan prasangka lain.
Di
Bandung, kalau kita tidak bisa berbahasa Sunda, maka kita akan menjadi
sasaran empuk sopir angkutan kota (angkot). Waktu pertama kali saya
berada di Bandung (3 tahun yang lalu), saya sering mendapat perlakuan
yang tidak adil dari hampir semua sopir angkot yang angkotnya pernah
saya tumpangi dalam hal ongkos/biaya yang harus saya bayar dengan jarak
yang saya tempuh. Ketika saya turun dari angkot dan saya membayar ongkos
dengan tidak menggunakan uang pas, maka ongkos yang seharusnya Rp
2.000,- dalam sekejab akan berubah menjadi Rp 3.000,-
Berbeda
dengan di Yogyakarta. Di Yogyakarta, ketika berbelanja di Malioboro dan
menawar barang dengan berbahasa Indonesia dan logat yang sedikit
berbeda, maka harga barang yang seharusnya 15 ribu akan berubah menjadi
30 ribu. Perbedaan yang cukup drastis.
Warna kulit juga merupakan
salah satu perbedaan yang sangat mencolok di suatu daerah berbeda.
Waktu saya masih berdomisili di Yogyakarta, ketika berbelanja di warung
yang sedang ramai, maka hukum ras akan sangat berlaku. Walaupun kita
sudah antri 1 jam, jika kita bukan orang pribumi (warna kulit sedikit
gelap) yang berkulit "sawo matang", maka kita akan menjadi orang
terakhir untuk dilayani. Dalam mencari kost-kost-an pun demikian.
Ini adalah pengalaman teman kost saya
(waktu masih di Yogyakarta) yang berasal dari Batak. Dia bercerita
bahwa ketika tiba di Yogyakarta, dia sangat kesulitan dalam mencari kost-an. Walaupun di depan pintu ada tulisan "TERIMA KOST PUTRI", tetapi ketika ibu kost-nya keluar dan mendengarkan logat Batak-nya yang kental, tanpa basa basi, pemilik kost-an tersebut langsung mengatakan bahwa semua kamar sudah penuh. Bahkan ada yang dengan jujur mengatakan "Kamu orang Batak ya? Maaf, di sini tidak menerima orang Batak karena orang Batak hanya bisa membuat keributan". Dia sangat putus asa, tapi akhirnya ada temannya (orang Jawa) yang berhasil meyakinkan salah satu pemilik kost dan akhirnya mau menerima dia. Sungguh perjuangan yang luar biasa, dan perbedaab yang luar biasa pula.
Pengalaman yang menunjukkan tentang komunikasi antar budaya yang menimbulkan prasangka juga dapat kita lihat dalam film "How Biased are You"
(belum pernah nonton? Buruan cari filmnya selagi masih ada). Dalam film
ini terlihat begitu banyak perbedaan antara orang berkulit hitam dan
orang berkulit putih walaupun memiliki budaya yang kurang lebih sama.
Dalam melakukan banyak hal, orang kulit putih lebih
diutamaka/didahulukan dibanding orang kulit hitam. Bahkan secara tidak
langsung, ketika melakukan tes pada beberapa orang berkulit putih dan
berkulit hitam, keduanya lebih berpihak pada orang berkulit putih.
Perbedaan
mungkin kita anggap biasa dan wajar-wajar saja, tetapi tanpa kita
sadari perbedaan membuat kita menjadi egois dan bahkan secara perlahan
tapi pasti membawa kita pada kehancuran. Kita akan mulai kehilangan
EMPATI pada orang lain jika perbedaan itu terus kita pertahankan dan
kita biarkan menghantui kita.
Seperti yang ada dalam film "Haw Biased are You",
dalam tes yag diberikan kepada beberapa orang berkulit hitam, tanpa
mereka sadari, mereka sudah lebih berpihak pada orang berkulit putih.
Mereka sendiri mengakui bahwa sebenarnya dari lubuk hati mereka yang
paling dalam tidak seperti itu. Lalu faktor apa yang menyebabkan hal ini
bisa terjadi? Mengapa hasil tes tersebut bisa berbeda dengan pengakuan
mereka? Itu artinya perbedaan tersebut bisa dihilangkan. Berikut
beberapa teori yang berkaitan dengan masalah ini.
Kerangka Teori
Cara
kita berpikir dapat terkondisikan secara kultural. Budaya-budaya Timur
melukiskan sesuatu dengan visualisasi-visualisasi, sedangkan budaya
Barat cenderung menggunakan konsep-konsep.
Pada dasarnya manusia
menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai suatu adaptasi
terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Kebiasaan-kebiasaan,
praktik-praktik, tradisi-tradisi untuk terus hidup dan berkembang
diwariskan dari suatu generasi ke generasi lainnya dalam suatu
masyarakat tertentu.
Budaya adalah gaya hidup unik suatu kelompok
manusia tertentu. Budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh sebagian
orang dan tidak dimiliki oleh sebagian orang lainnya - budaya dimiliki
oleh semua manusia dan dengan demikian merupakan suatu faktor pemersatu.
Budaya juga merupakan pengetahuan yang dapat dikomunikasikan,
sifat-sifat perilaku dipejari yang juga ada pada anggota-anggota dalam
suatu kelompok sosial dan berwujud dalam lembaga-lembaga dan
artefak-artefak mereka.
Kaidah emas menyuruh kita memperlakukan
orang lain seperti kita ingin diperlakukan oleh mereka. Dalam kaidah ini
terkandung asumsi kesamaan: bahwa orang lain seperti diri kita dan
karena ia ingin diperlakukan sama. Kesamaan mengandung makna realitas
yang tunggal dan mutlak, dan pemikiran seperti itu adalah dasar
etnosentrisme.Kaidah emas membawa kita pada strategi komunikasi simpati;
yakni menganggap orang lain berpikir dan merasa seperti kita dalam
menghadapi situasi yang sama.
Untuk mengatasi Kaidah Emas, kita
harus mengasumsikan adanya perbedaan diantara orang-orang dan adanya
realitas ganda. Bila kita menggunakan prinsip ini, kita menggunakan
strategi komunikasi empati; yakni secara imajinatif kita mengalami dunia
dari perspektif orang lain. Kemampuan empati dapat dikembangkan dengan
mengikuti enam langkah yang saling berkaitan. Berbeda dengan Kaidah
Emas, komunikasi empati mendorong kepekaan interasial dan interkultural.
Kaidah
Emas ini adalah puncak gunung es ideologi yang meghalangi perjalanan
menuju pengertian interkultural dan perdamaian internasional. Kaidah
Emas dan asumsi serta strategi yang menyertainya tidak efektif. Kita
hanya ingin menyatakan bahwa keefektifan pendekatan ini sangat dibatasi
perbedaan manusiawi.
Berlawanan dengan asumsi bahwa semua orang
pada pokoknya sama, kita dapat mengasumsikan bahwa setiap orang pada
hakikatnnya unik. Teori ini dapat kita sebut sebagai "hipotesis serpihan salju".
Bila kita melihat kesamaan yang tampak lebih secara lebih dekat, kita
akan melihat keanekaragaman yang hampir tidak terbayangkan. Pengamatan
manusia yang lebih cermat juga mengungkapkan keanekaragaman seperti ini.
Jelaslah bagi kita bahwa kategori yang kita gunakan untuk mengasumsikan
adalah generalisasi yang dibuat dari jauh - dari jarak yang
dilestarikan oleh abstraksi seperti Kaidah Emas.
Jika kita
menolak kaidah emas untuk menolak perbedaan, keanekaragaman
karakteristik manusia yang mempesona segera tampak. Bukan saja perbedaan
itu nyata dalam bahasa dan budaya, tetapi juga dapat diamati dalam
tingkat fisiologis. Seperti serpihan salju, orang berbeda dalam sidik
jarinya, pola gelombang otak, pola suara, dan komposisi lainnya.
Disamping perbedaan bahasa dan budaya pada suatu sisi dan perbedaan
fisiologis pada sisi yang lain, orang juga berbeda secara individual
dalam pola psikologisnya.
Asumsi perbedaan konsisten dengan teori
realaitas majemuk. Teori-teori ini berpendapat, seperti konstruk
personal, bahwa realitas bukanlah kuantitas yang tepat dan dapat
ditemukan. Realitas adalah kualitas yang berubah-ubah dan dapat
diciptakan. Dalam filsafat, pandangan ini diwakili oleh fenomenologi dan
berbagai sistem neofenologis yang sekarang ini meneliti implikasi
filosofis dari fisika modern. Yang paling penting dari teori-teori ini
adalah relativitas kerangka rujukan.
Strategi komunikasi yang
paling tepat dengan realitas majemuk dan asumsi perbedaan adalah empati.
Seperti simpati, istilah ini juga dugunakan dalam arti bermacam-macam.
Dalam penggunaan sehari-hari, empati sering didefinisikan sebagai berada
pada posisi orang lain; sebagai simpati yang dalam; sebagai kepekaanan
kepada kebahagiaan bukan kesedihan; dan sebagai sinonim langsung dari
simpati.
Begitu meluasnya kaidah emas ini sehingga hanyalah usaha
terpadu yang dapat menghilangkan pengaruhnya pada komunikasi kita. Enam
langkah dalam prosedur ini menjadi petunjuk mengembangkan keterampilan
empati. Setiap langkah adalah persyaratan yang diperlukan untuk langkah
sebelumnya atau bila gagal bergerak dengan tepat. Bila prosedur ini
diambil seluruhnya dan secara berurutan, maka prosedur ini mencerminkan
pendekatan yang efektif untuk memahami perbedaan.
Langkah pertama: Mengasumsikan Perbedaan.
Langkah kedua: Mengenali Diri
Langkah ketiga: Menunda Diri
Langkah keempat: Melakukan Imajinasi Terbimbing
Langkah kelima: Membiarkan Pengalaman Empati
Langkah keenam: Meneguhkan Kembali Diri
Walaupun
empati dapat digunakan dalam berbagai situasi komunikasi, dalam makalah
ini kita hanya mencurahkan perhatian pada penggunaannya untuk memahami
perbedaan. Sebagaimana ditunjukkan oleh konotasi simpati yang
etnosentrik, yang disebut terdahulu, penggunaan empati dapat menciptakan
iklim yang lebih sensitif dan terhormat untuk komunikasi interasial dan
interkultural. Dengan empati, kita dapat mengatasi kaidah emas, dan
menggantikannya dengan "Kaidah Platina": "Perlakukanlah orang lain
seperti mereka memperlakukan diri mereka sendiri".
Pembahasan
Dalam kenyataan yang ada, baik di film "How Biased are You"
maupun kisah nyata yang kita alami sendiri memperlihatkan bahwa
komunikasi antar komunitas berbeda akan semakin rumit dengan
perbedaan-perbedaan yang terlihat dan pernah kita alami. Tapi bukan
berarti hal ini tidak bisa dihilangkan atau dihindari. Dengan
mempelajari beberapa teori di atas, kita bisa memulai untuk me-manage perbedaan-perbedaan yang ada mulai dari dalam diri pribadi kita masing-masing.
Teori-teori
yang ada bisa kita terapkan dalam kehidupan kita pribadi dengan tetap
menyadari bahwa setiap budaya itu berbeda dan antara orang yang satu
dengan yang lain pasti ada perbedaan dalam banyak hal, terutama
perbedaan nilai-nilai yang dianut.
Kaidah emas menyuruh kita
memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan oleh mereka.
Dalam kaidah ini terkandung asumsi kesamaan: bahwa orang lain seperti
diri kita dan karena ia ingin diperlakukan yang sama. Kesamaan
mengandung makna realitas yang tunggal dan mutlak dan pemikiran seperti
itu adalah dasar etnosentrisme. Kaidah emas membawa kita pada strategi
komunikasi simpati; yakni menganggap orang lain berpikir dan merasa
seperti kita dalam menghadapi situasi yang sama. Hal ini bisa membantu
atau menolong kita dalam meminimalisir perbedaan. Ketika kita saling
memahami, mengerti dan memperlakukan orang lain dengan sewajarnya, maka
hal itupun yang akan kita terima.
Sekarang kita melihat,
bagaimana kaidah emas berasal dari asumsi kesamaan manusia - asumsi yang
konsisten dengan teori realitas tunggal. Strategi komunikasi yang
melaksanaka kaidah emas adalah simpati yang antara lain berupa
penggeneralisasian pikiran dan perasaan dari kerangka rujukan kita
sendiri. Walaupun simpati dapat melahirkan pengertian tentang orang lain
dalam situasi yang betul-betul sama, simpati banyak mengandung kerugian
dalam situasi ketika ditemukan perbedaan manusiawi.
Strategi
komunikasi yang paling tepat dengan realitas majemuk dan asumsi
perbedaan adalah empati. Seperti simpati, istilah inipun digunakan dalam
arti bermacam-macam. Dalam penggunaan sehari-hari, empati sering
didefinisikan sebagai berada pada posisi orang lain. Kadang kita tidak
bisa memahami bagaiman orang lain diperlakukan, atau orang lain tidak
begitu respek dengan simpati yang kita berikan. Tetapi lebih membutuhkan
empati dari kita. Butuh diperlakukan seperti bagaiaman mereka ingin
diperlakukan.
Solusi
Solusi yang dapat saya berikan untuk mengatasi perbedaan yang dapat menimbulkan prasangka adalah:
1.
Mengasumsikan perbedaan, mengenali diri, menunda diri, melakukan
imajinasi terbimbing, membiarkan pengalaman empati, meneguhkan kembali
diri.
2. Memperlakukan orang lain dengan baik
3. Menghilangkan perbedaan dari pikiran kita, sehingga tidak menimbulkan prasangka.
4. Memahami posisi orang lain, dan
5. Memperlakukan orang lain seperti bagaimana mereka ingin diperlakukan
Kesimpulan
Perbedaan
mungkin kita anggap biasa dan wajar-wajar saja, tapi tanpa kita sadari,
perbedaan membuat kita egois dan bahkan secara perlahan tapi pasti
membawa kita kepada kehancuran. Kita akan mulai kehilangan EMPATI pada
orang lain jika kita perbedaan itu terus kita pertahankan dan kita
biarkan menguasai kita.
Saat orang mulai memperbesar perbedaan,
itulah prasangka. Oleh karena itu, sebisa mungkin kita harus
meminimalisir perbedaan yang ada, mulai dari diri kita masing-masing,
sehingga prasangka itu tidak ada dan kita bisa memperlakukan orang lain
dengan baik tanpa melihat perbedaan apapun termasuk perbedaan budaya.
Strategi
komunikasi yang paling tepat dengan realitas majemuk dan asumsi
perbedaan adalah empati. Kadang kita tidak bisa memahami bagaiamana
orang lain diperlakukan, atau orang lain tidak begitu respek dengan
simpati yang kita berikan, tetapi mereka lebih membutuhkan empati dari
kita, butuh diperlakukan sebagaimana mereka ingin diperlakukan.
Referensi:
1. Mulyana Deddy, Dr. M.A., Jalaluddin Rahmat, Drs. M.Sc. 2006. Komunikasi Antar Budaya. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya
2. Film "How Biased You"
Diposkan Lea Belandina dalam http://belandina.blogspot.com/
Tugas anda:
Baca baik-baik tulisan di atas, jawablah:•
1.Jelaskan tentang apa yang dimaksud dengan kaidah emas
2.Jelaskan pula apa yang dimaksud dengan simpati dan empati
3.Menurut anda bagaimana sebaiknya kita menyikapi perbedaan budaya?
Kumpulkan pada jumat 23 nopember 2013 pk 10.00 pagi